Memang saya akui emulator ARM yang pernah saya jalankan di Eclipse dari dulu harus menunggu sekitar 10 menit baru bisa. Itu saja belum lagi kalo disconnect emulatornya, harus mulai dari awal. Belum lagi konsumsi RAM yang dihabiskan. Bahkan biasanya saya harus mematikan browser terlebih dahulu agar emulator berjalan lancar. Intinya sangat tidak nyaman.
Dulu saat saya belum memiliki ponsel Lenovo A6000 Plus, saya harus menerima kenyataan pahit saat debugging aplikasi Android bikinan sendiri. Namun, sekarang biasanya langsung saya debugging dengan ponsel Lenovo A6000 Plus milik saya. Tetap saja debugging dengan ponsel langsung tidak selamanya nyaman. Apalagi jika ponsel sedang digunakan untuk aktivitas lainnya. Nah, untuk itu saya mencoba Android Studio 2.0 ini apakah lebih nyaman dari Eclipse ataukah tidak.
Saya menggunakan MacBook keluaran Mid 2010 yang standarnya memiliki RAM 2 GB. Namun, sudah saya upgrade RAM-nya menjadi 4 GB. Faktanya setelah saya download emulator Android yang versi bukan ARM dari Google, tetap saja tidak bisa masuk ke dalam sistemnya. Berhenti di tengah-tengah. Dan itu tentu saja membuat saya jengkel. Sepertinya memang lebih nyaman menggunakan Eclipse yang lebih ringan dibandingkan dengan Android Studio.
Teman saya pun mengatakan, bagusnya untuk menggunakan Android Studio adalah menggunakan komputer dengan RAM 8 GB. Yah, kalau 8 GB sih tentu saja bisa. Pasalnya memang emulator Android-nya sendiri sudah membutuhkan RAM sekitar 1,5 GB sendiri. Sempat saya beri 1 GB saja hasilnya berhenti di tengah jalan.
Android Studio memang masa depan, karena Eclipse sudah mulai ditinggalkan oleh Google. Namun, tetap saja harus menyiapkan spesifikasi perangkat keras yang agak mahal dari kebanyakan laptop yang dijual saat ini. Jadi, untuk kamu yang penasaran dengan Android Studio, silakan mencobanya. Namun, jika RAM laptop kamu di bawah 4 GB, saya sarankan gunakan Android langsung untuk mengetes aplikasi yang sedang kamu buat.
EmoticonEmoticon